![]() |
Kolom: Jangan Salahkan Tim yang Bermain Bertahan di Piala Dunia 2018 |
Saya bukan pelatih, juga bukan pemain sepak bola pro, saya hanyalah seseorang yang dilahirkan dan ditakdirkan sangat mencintai yang namanya sepak bola. Piala Dunia 2018 adalah World Cup ke-7 yang saya nikmati sebagai pencinta berat sepak bola.
FIFA sebagai organisasi tunggal yang menaungi gawean ini tentu juga sudah meakukan banyak terobosan untuk membuat event ini semakin menarik bahkan sudah mulai bergeser hingga yang namanya keadilan dalam sepak bola melalui teknologi teranyarnya yaitu VAR.
Tapi maaf, saya cenderung ingin membahas sesuatu yang lebih menarik yaitu perkembangan cara main dari sisi strategi dan taktikal secara umum.
Tersingkirnya Jerman banyak yang menghubungkan dengan kutukan juara bertahan. Saya secara pribadi tidak pernah percaya dengan hal ini meskipun terjadi secara beruntun sejak 2002.
Waktu aktif bermain di Liga Mahasiwa 1998, pelatih saya pernah berteriak “manfaatkan lebar lapangan”, atau "berani pegang atau kuasai bola."
Tapi sadarkah dalam beberapa tahun ini justru lapangan kian terasa sempit? Apa yang terjadi? Apa ukuran lapangan berubah? Atau tidak sesuai standar FIFA? Rasanya tidak. Lantas lalu apa yang membuat lapangan kian terasa sempit?
Dalam dua event besar terakhir yaitu Piala Dunia 2014 dan Piala Eropa 2016 laporan TSG (technical study group) dari dua event besar tersebut secara statistik data dan fakta bahwa gol yang dihasilkan lebih banyak tercipta dari transisi cepat dalam melakukan serangan balik!
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon